Fiqh, 03 November 2003, 00:02:59
1. Musafir
Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, kita tidak lupa bahwa rahmat ini disebutkan di tengah-tengah kitab-Nya yang Mulia, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang berfirman (yang artinya) : “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah mengendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah : 185].
Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apakah boleh aku berpuasa dalam safar ?” -dia banyak melakukan safar- maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau” [Hadits Riwayat Bukhari 4/156 dan Muslim 1121].
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa” [Hadits Riwayat Bukhari 4/163 dan Muslim 1118].
Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang afdhal, namun mungkin kita (bisa) menyatakan bahwa yang afdhal adalah berbuka berdasarkan hadits-hadits yang umum, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(yang artinya) : “Sesungguhnya Allah menyukai didatanginya rukhsah yang diberikan, sebagaimana Dia membenci orang yang melakukan maksiat” [Hadits Riwayat Ahmad 2/108, Ibnu Hibban 2742 dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih].
Dalam riwayat lain disebutkan (yang artinya) : “Sebagaimana Allah menyukai diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan” [Hadits Riwayat Ibnu Hibban 364, Al-Bazzar 990, At-Thabrani dalam Al-Kabir 11881 dari Ibnu Abbas dengan sanad yang Shahih. Dalam hadits -dengan dua lafadz ini- ada pembicaraan yang panjang, namun bukan di sini tempat menjelaskannya].
Tetapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat dalam mengqadha’ dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tidak melenceng dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan dengan gamblang dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu.
“Para sahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa (maka) itu baik (baginya), dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka (maka) itu baik (baginya)” [Hadits Riwayat Tirmidzi 713, Al-Baghawi 1763 dari Abu Said, sanadnya Shahih walaupun dalam sanadnya ada Al-Jurairi, riwayat Abul A'la darinya termasuk riwayat yang paling shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-Ijili dan lainnya.]
Ketahuilah saudaraku seiman -mudah-mudahan Allah membimbingmu ke jalan petunjuk dan ketaqwaan serta memberikan rizki berupa pemahaman agama- sesungguhnya puasa dalam safar, jika memberatkan hamba bukanlah suatu kebajikan sedikitpun, tetapi berbuka lebih utama dan lebih dicintai Allah. Yang mejelaskan masalah ini adalah riwayat dari beberapa orang sahabat, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya) : “Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar” [Hadits Riwayat Bukhari 4/161 dan Muslim 1110 dari Jabir].
Peringatan :
Sebagian orang ada yang menyangka bahwa pada zaman kita sekarang ini tidak diperbolehkan berbuka, sehingga (berakibat ada yang) mencela orang yang mengambil rukhsah tersebut, atau berpendapat bahwa puasa itu lebih baik karena mudah dan banyaknya sarana transportasi saat ini. Orang-orang seperti ini perlu kita usik ingatan mereka kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan nyata (yang artinya) : “Dan tidaklah Tuhanmu lupa” [Maryam : 64].
Dan juga firman-Nya “Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui” [Al-Baqarah : 232]
Dan firman-Nya di tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar (yang artinya) : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah : 185]
Yakni, kemudahan bagi orang yang safar adalah perkara yang diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan syari’at. cukup bagimu bahwa Dzat yang mensyari’atkan agama ini adalah pencipta zaman, tempat dan manusia. Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yang bermanfaat bagi mereka. Allah berfirman (yang artinya) : “Apakah Allah Yang Menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan) ; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui ?” [Al-Mulk : 14].
Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, tidak ada pilihan lain bagi manusia, bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mukmin yang tidak mendahulukan perkataan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya (yang artinya) : “Kami dengar dan kami taat, (Mereka berdo’a) : “Ampunilah kami yang Tuhan kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali” [Al-Baqarah : 285]
2. Sakit
Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya, dan kemudahan bagi orang yang sakit tersebut. Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang apabila dibawa berpuasa akan menyebabkan suatu madharat atau menjadi semakin parah penyakitnya atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya. Wallahu a’alam
3. Haid dan nifas
Ahlul ilmi telah bersepakat bahwa orang yang haid dan nifas tidak dihalalkan berpuasa, keduanya harus berbuka dan mengqadha, kalaupun keduanya puasa (maka puasanya) tidak sah. Akan datang penjelasannya, Insya Allah…
4. Kakek dan nenek yang sudah lanjut usia
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Kakek dan nenek yang lanjut usia, yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya seorang miskin” [Hadits Riwayat Bukhari 4505, Lihat Syarhus Sunnah 6/316, Fathul bari 8/180. Nailul Authar 4/315. Irwaul Ghalil 4/22-25. Ibnul Mundzir menukil dalam Al-Ijma' no. 129 akan adanya ijma (kesepakatan) dalam masalah ini].
Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/207) dan dishahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari Ibnu Abbas, beliau membaca ayat (yang artinya) : “Orang-orang yang tidak mampu puasa harus mengeluarkan fidyah makan bagi orang miskin” [Al-Baqarah : 184].
Kemudian beliau berkata : “Yakni lelaki tua yang tidak mampu puasa dan kemudian berbuka, harus memberi makan seorang miskin setiap harinya 1/2 gantang gandum” [Lihat ta'liq sebelumnya].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu : “Barangsiapa yang mencapai usia lanjut dan tidak mampu puasa Ramadhan, harus mengeluarkan setiap harinya satu mud gandum” [Hadits Riwayat Daruquthni 2/208 dalam sanadnya ada Abdullah bin Shalih dia dhaif, tapi punya syahid (penguat, red)].
Dari Anas bin Malik (bahwa) beliau lemah (tidak mampu untuk puasa) pada satu tahun, kemudian beliau membuat satu wadah Tsarid dan mengundang 30 orang miskin (untuk makan) hingga mereka kenyang. [Hadits Riwayat Daruquthni 2/207, sanadnya shahih]
5. Wanita hamil dan menyusui
Di antara rahmat Allah yang agung kepada hamba-hamba-Nya yang lemah adalah Allah memberi rukhsah (keringanan) pada mereka untuk berbuka, dan diantara mereka adalah wanita hamil dan menyusui.
Dari Anas bin Malik [1], ia berkata : “Kudanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku temukan beliau sedang makan pagi, beliau bersabda, “Mendekatlah, aku akan ceritakan kepadamu tentang masalah puasa. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala menggugurkan 1/2 shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil dan menyusui kewajiban puasa”. Demi Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satunya. Aduhai sesalnya jiwaku, kenapa aku tidak (mau) makan makanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Hadits Riwayat Tirmidzi 715, Nasa'i 4/180, Abu Daud 3408, Ibnu Majah 16687. Sanadnya hasan (baik, red) sebagaimana pernyataan Tirmidzi]
Footnote :
[1]. Dia adalah Al-Ka’bi, bukan Anas bin Malik Al-Anshari pembantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi ia adalah seorang pria dari bani Abdullah bin Ka’ab, pernah tinggal di Bashrah, beliau hanya meriwayatkan satu hadits saja dari Nabi, yakni hadits di atas.
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.)
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=312
0 komentar:
Posting Komentar